Baikbudi emak si Randang Dagang lalu ditanakkan Tiada berkayu rumah diruntuhkan Biasanya terdiri dari 4 baris, berirama aaaa, keempat baris tersebut mengandung arti atau maksud penyair (pada pantun, 2 baris terakhir yang mengandung maksud). Ciri-ciri Syair : Balada bentuk puisi baru yang isinya berupa cerita dan kisah perjalanan hidup
ArtiMimpi FrieEntah kenapa hari ini, kayanya meta 2 kali berhubungan sama yang namanya mimpi deh.. Diawali di sore hari, waktunya meta diomelin mbak Henny, make up-artistnya SBO yang lagi bersusah payah make up-in meta gara-gara meta nekad buka mata pas dibubuhin eye liner.
Jemariyang menari, di atas lantai papan piano berwarna hitam dan putih. Ia menari tiada henti. Mengkuti irama, mengikuti nada. Alunan yang di ciptakan adalah balada kisah, kisah yang mungkin pernah tumpah ruah. Puisi yang harus di bacakan, lantunan tutur kata yang menjadi keindahan.
Vay Tiá»n Nhanh. Emak memiliki 1 arti. Emak Bentuk tidak baku dari mak. Kata Turunan Emak Umak Kesimpulan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI, arti kata emak adalah bentuk tidak baku dari mak.
â Masalah panggilan emak-emak yang sering disebut oleh Sandiaga, dipermasalahkan oleh Kongres Wanita Indonesia Kowani. Apakah karena Kowani merasa beda kelas?Istilah The Power of Emak-emak memang tengah sering dipergunakan. Penggunaan istilah ini awalnya terkait dengan bagaimana âpowerâ yang dimiliki emak-emak dapat bekerja dengan cara yang tidak terduga dan sering berujung dengan mengesalkan. Misalnya, untuk mengomentari seorang perempuan yang berkendara seenaknya sendiri, salah satunya dengan sein kiri tapi belok kanan. Mengalahkan raja jalanan yang ini pun akhirnya memberikan kesan negatif. Sangat dekat dengan anggapan bahwa perempuan adalah seorang yang kasar dan seenaknya sendiri. Namun, justru kubu Prabowo-Sandiaga menggunakan istilah tersebut sebagai bahan kampanye. Sandiaga sendiri sering menggunakan istilah itu untuk memanggil perempuan-perempuan yang mendukungnya. Bahkan ia sangat mendukung jika didirikan Partai dijadikan bahan kampanye, istilah the power emak-emak tidak hanya sebatas ramai di meme atau guyonan sosial media saja, namun juga semakin sering muncul dalam pemberitaan nasional. Mungkin karena semakin populer, akhirnya isitilah ini menjadi bahasan dalam General Assembly International Council if Women ke-35 di Yogyakarta, Jumat 14/9 kongres tersebut, Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia Kowani, Giwo Rubianto menolak dengan tegas istilah the power of emak-emak. Menurutnya, ibu di Indonesia telah memiliki panggilan istimewa, yakni Ibu Bangsa. Ia mengungkapkan bahwa perempuan Indonesia yang telah memiliki konsep Ibu Bangsa sejak tahun 1935, sebelum kemerdekaan. Sehingga ia menolak jika kemudian disebut sebagai tersebut juga dihadiri dan dibuka oleh Presiden Jokowi. Giwo mengungkapkan, bahwa ia memperhatikan pernyataan Jokowi ketika peringatan Hari Ibu pada 22 Desember 2017 lalu di Papua perihal peran ibu bangsa. Sesungguhnya peran ibu bangsa bukan sebuah beban melainkan suatu kehormatan. Yakni berupa tugas mempersiapkan generasi muda yang unggul, berdaya saing, inovatif, kreatif, dan memiliki wawasan kebangsaan yang tegas pun ia mengungkapkan, âKami tidak setuju! Tidak ada The Power of Emak-emak. Yang ada The Power of Ibu Bangsa.âWalaupun pernah memiliki makna yang terkesan negatif, namun Sandiaga pun menyebut the power of emak-emak mengacu pada perempuan yang hebat, perempuan yang mandiri. Serta perempuan yang akan menjadi penentu kesuksesan bangsa bukankah dengan penggunaan istilah tersebut dalam kampanye, akan mengembalikan kesan emak-emak yang identik dengan perilaku menang sendiri tersebut? Terus di manakah letak masalahnya?Apakah hal ini juga ada kaitannya dengan penggolongan panggilan seorang perempuan dewasa dalam kasta ekonomi dan sosial di strata sosial Jawa? Ya, panggilan kepada seorang perempuan dewasa memang memiliki stratanya sendiri. Menurut riset kecil-kecilan saja, panggilan tersebut memiliki strata seperti iniâŠ.BiyungâSimbokâEmakâIbuâMamaSemakin terpandang keluarga tersebut, maka panggilan yang akan dipilih semakin ke kanan. Untuk kali ini saya mengabaikan panggilan-panggilan yang mengacu pada bahasa Arab, Tionghoa, dsb. Karena saya hanya akan fokus pada strata sosial penggunaan panggilan biyung. Panggilan ini sudah sangat jarang digunakan saat ini. Menurut cerita dari nenek saya, panggilan ini lebih sering digunakan pada zamannya dulu, di pelosok kampung yang teramat panggilan simbok. Yang terlintas dari panggilan ini adalah orang desa, miskin dan berpendidikan rendah. Jika ingin ditambah agar lebih dramatis lagi, merupakan perempuan yang pemalu, penakut, sabar dan tabah. Nah, di dalam sinetron kita, panggilan simbok ini akan identik dengan pemeran pembantu rumah panggilan emak. Ia memiliki strata yang lebih tinggi. Biasanya sudah lebih mengenal peradaban. Namun tetap, masih belum dapat dikatakan sebagai seorang perempuan yang cukup terpadang. Lihat saja contoh pemakaian panggilan emak dalam film, âEmak pengin naik haji.â Sepertinya sudah cukup menjelaskan, kan?Keempat, penggunaan panggilan ibu. Staratanya bisa dikatakan lebih maju lagi. Panggilan ini sudah masuk ke dalam panggilan menengah ke atas dan tentu saja sebuah panggilan yang cocok untuk perempuan-perempuan yang untuk panggilan mama atau mami, intinya lebih tinggi lagi lah, ya. Identik dengan perempuan yang tidak hanya berpendidikan namun juga cantik dan kaya kesan yang diciptakan dengan panggilan perempuan dewasa tersebut. Jika kita mengacu pada strata di atas, maka bisa dikatakan bahwa panggilan emak memang memiliki strata di bawah kata ibu. Apakah karena hal inikah sehingga Kowani menolak untuk dipanggil emak-emak?Padahal jika kita mengacu pada KBBI, sebenarnya tidak ada perbedaan makna dari panggilan-panggilan tersebut. Apakah karena perempuan-perempuan Kowani merupakan kaum terpandang, sehingga risih dengan sebutan emak yang terasa ndeso? Oke saya harap tidak. Semoga memang ada alasan diperbarui pada 15 September 2018 oleh Audian Laili
Until recently, the term emak was often associated with power, agency, toughness, mobility, freedom, resilience, independence, as well as stubbornness. Seven months out from the presidential election, both pairs of candidates seem to have suddenly discovered the power of Indonesian women. Over the last few months, womenâs voices have become increasingly prominent in the campaign. In July, a group of women calling themselves the Militant Indonesian Mothers Barisan Emak-Emak Militan Indonesia protested in front of the Presidential Palace, demanding that President Joko âJokowiâ Widodo take action to reduce the cost of staple foods. In September, they held another rally, at the General Elections Commission KPU, calling for Jokowi to follow the lead of former Jakarta Vice Governor Sandiaga Uno and step down from office given that he had already declared himself a candidate for the 2019 race. These so called emak-emak have been strongly associated with the 2019GantiPresident 2019ChangethePresident campaign and the Prabowo Subianto-Sandiaga Uno ticket. But Jokowiâs supporters have also used the term â in August a group calling itself Jokowiâs Militant Mothers Emak Militan Jokowi reported members of the 2019ChangethePresident movement to police for alleged hate speech. Prabowo and Sandiaga look set to run an economy-focused campaign, and Sandiaga, especially, has shown a readiness to use womenâs voices to attract votes. In public appearances and on Twitter, Sandiaga has said his economic plans will be based on the real stories of emak-emak, who he says are concerned about the rising costs that the government has failed to keep under control. Similarly, in the legislatureâs 2018 âState of the Nationâ address, Speaker of the Peopleâs Consultative Assembly MPR and leader of the National Mandate Party PAN Zulkifli Hasan said he was âdelivering a message from emak-emakâ when he said that government policies were hurting households. Who are emak-emak? Although the term emak-emak or emak in its singular form has been around for some time, it has only been debated in the media recently. Many women now see the term as having derogatory connotations. Two weeks ago, the Indonesian Womenâs Congress KWI denounced the use of the term emak-emak, and declared a preference for Indonesian mothers to be called ibu bangsa mothers of the nation. Reflecting how politicised this debate has now become, Jokowi soon after tweeted in support of ibu bangsa, referring to the number of women in his cabinet and the number of Asian Games gold medals won by Indonesian women. Long before the recent sensation around the term, emak was understood by many Indonesian women especially middle-aged women to imply power, agency, toughness, mobility, freedom, resilience, independence, as well as stubbornness. Photos shared on social media with the caption âthe power of emak-emakâ often depict women in situations of struggle. A typical image might show an old woman carrying a pile of wood on her head, or a woman driving a motorcycle stacked high with the results of harvest. Some images show women riding motorcycles against traffic or without a helmet. There is a sense of a tough woman doing what it takes to get the job done. When used in this way, emak-emak seems to perfectly encapsulate what many scholars of Indonesia have often argued about Indonesian women â that they have high mobility and relative autonomy and authority, especially when compared to women in many other parts of the world. The term emak is typically used by children in Java, Sumatra and some other islands to refer to their mothers although in Sumatra the pronunciation is usually mamak or mak. It is generally considered an indigenous form of the term mama or mum common in urban areas of Indonesia. Historically, therefore, many people saw the term emak as empowering. It was a reminder of the strength and authority of Indonesian women. It demonstrated how women challenge the rules and expectations that have been placed on them, including, for example, to stay at home and be preoccupied with their husbandsâ and childrenâs needs. But the presidential campaign has seen this notion of independence, freedom and resilience turned on its head. Political parties and their mostly male politicians are now suddenly speaking on behalf of women. When they speak of emak-emak it no longer sounds empowering â it sounds patronising. This new politicisation of the term seems to be crushing the notion of womenâs independence that is strongly embedded in it. Winning the hearts of Indonesian women There is a reason that both presidential candidates are targeting women voters. The KPU recently announced that the number of women voters exceeds the number of male voters. And in the recent local leadership elections, women participated at a higher rate than men, with 76 per cent of eligible women voting, compared to 70 per cent of eligible men. But politiciansâ attempts to target these women are misguided. They seem to believe that women are motivated to participate in elections solely because of household concerns. Women and girls are also concerned about sexual violence and harassment, child marriage, genital cutting, equality in the workforce and, last but not least, increased pressure to conform to religious doctrines and values that restrict their mobility and freedom of expression. As leading political scholar Ani Sutjipto recently, and correctly, observed, the depiction of emak-emak as being rendered hopeless because of economic stress is a major setback. Womenâs identities are understood only through their biological roles as mothers, little thought is given to the many different ways women may wish to express their political interests. Sutjipto also somewhat depressingly observed that despite the significant number of women in the national legislature, as a result of hard-won reforms like quotas, womenâs voices and interests are still being captured by men. It is true that the beliefs and ideological orientation of women often have economic determinants. However, patronising and simplistic stereotypes of women as mothers run the risk of not being able to keep up with the transformation of womenâs identity in modern Indonesia. This is happening quickly and producing new identities that often seem very different to the old stereotypes. The campaign has a long way to go, and maybe candidates will find a more sophisticated way to appeal to women voters. Looking at things positively, at least politicians know they need to attract the votes of women. But womenâs voices are not uniform, their identities are not singular. Politicians underestimate the power of Indonesian women at their peril.
arti balada emak emak